Film ini akan menceritakan tentang seorang anak perempuan yang bernama Morgan. Yang mana ia bukanlah anak biasa. Morgan adalah seorang anak hasil dari penelitian para ilmuan. Ia telah menjelma menjadi sesuatu yang sangat berbahaya dan harus segera diselesaikan. Seorang konsultan perusahaan(diperankan Kate Mara) melakukan sebuah investigasi terhadap sejumlah kecelakaan berlumuran darah yang sering sekali terjadi. Sebuah laboratorium pusat penelitian menjadi saksi atas kebrutalan Morgan.
Para ilmuan menganggap Morgan sebagai anak yang spesial. Satu bulan setelah kelahirannya , ia sudah dapat berbicara dan berjalan. Walaupun demikian mereka tetap menganggap Morgan seperti anak pada umumnya. Kejadian kejadian aneh mulai bermunculan. Dan akhirnya para ilmuan pun mulai mencurigai Morgan. Hingga sekelompok peneliti diperintah untuk melakukan sebuah pengawasan ekstra pada Morgan, Dan sekaligus untuk pertimbangan, Melanjutkan atau menghentikan Projek anak buatan tersebut. dan juga kelangsungan hidup Morgan.
Review THE DEAD ROOM (2015) The Dead Room adalah film yang diangkat dari kisah nyata yang pernah terjadi di Selandia Baru. Keluarga sepasang suami istri yang pernah tinggal dalam sebuah rumah tua di pingir kota, dibagian utara Selandia Baru, berhasil melarikan diri dari rumah yang berlokasi di wilayah pertanian.
Keluarga itu berhasil melepaskan diri dari kekuatan 'hitam' yang menyelimuti bagian rumah tua tersebut, dan mencari pertolongan atas apa yang telah mereka alami. Mereka menemui ahli psikologi dan ahli supranatural dalam melakukan tugasnya untuk melihat apa yang terjadi dengan rumah yang baru saja mereka tinggalkan.
Rumah tersebut berpenghuni. Rumah yang terlihat sudah usang tersebut dihuni oleh kekuatan gaib yang membuat para ahli supranatural itu menggunakan segala peralatan canggih yang mereka miliki untuk mencoba mengungkap 'sesuatu' yang terus mengganggu dan membahayakan seisi rumah.
Mereka mencoba melihat perilaku hantu tersebut lewat peralatan yang ditempatkan di bagian-bagian rumah, dan memang benar bahwa ada ruangan yang menjadi tempat favorit kekuatan hitam tersebut, menyeret satu persatu para peneliti itu.
Kembalinya Matt Damon ke franchise film Bourne tentunya memikat kembali hati para penggemar yang pastinya penasaran bagaimana kisah lanjutan dari si agen bernama Jason Bourne ini. Apalagi, film sebelumnya “Bourne: Legacy” yang diperankan oleh Jeremy Renner tidak begitu mendulang sukses seperti tiga film, sebelumnya. Bukan karena akting sang aktor buruk, tapi cerita dan karakter bourne sendiri sepertinya sudah melekat pada aktor Matt Damon. Dan begitu diumumkan bahwa sekuel berikutnya ‘Jason Bourne’ akan kembali diperankan olehnya, seluruh dunia juga sudah heboh menantikan kehadiran film barunya ini.
Plot yang dihadirkan mungkin tidak jauh-jauh dari konflik di film sebelumnya, dimana Bourne terus mencari identitas dirinya yang telah dicuci otak dan direkrut sebagai anggota CIA. Setelah pelariannya, Bourne mengasingkan diri di berbagai tempat, tapi kemudian seorang hacker bernama Nicky Parsons membantunya mencari tahu tentang asal-usul identitas Jason Bourne. Ini kemudian membawanya kembali pada sejarah Treadstone dan kematian sang ayah. Tak hanya ingin mengetahui jati dirinya, Bourne juga berniat untuk balas dendam pada organisasi CIA yang membuat kehidupannya hancur.
Ketegangan sudah terasa sejak awal film. Bahkan adegan laga ‘pemanasan’ juga sudah dibuka oleh Matt Damon lewat pertarungan jalanan di kehidupannya yang menjadi liar. Akting Matt Damon sebagai Jason Bourne tetap terlihat dingin sebagai karakter pembunuh yang mematikan. Selain Matt Damon, ada pula karakter baru yang cukup memukau yaitu Alicia Vikander sebagai Heather Lee, yang merupakan anggota baru CIA.
Cerita yang dihadirkan di Jason Bourne begitu mudah dipahami. Meskipun dengan durasi yang cukup panjang yaitu selama dua jam, namun film ini tidak membosankan. Dialog antar pemain sangat rapih dan cepat, tidak banyak bahasa-bahasa retorika yang biasanya hanya membuat penonton jenuh. Selang beberapa dialog, dengan cepat scene langsung beralih ke adegan action. Bahkan jika anda tak pernah menyaksikan empat film Jason Bourne sebelumnya, anda tetap dapat mengerti alur cerita yang dihadirkan dalam film ini. Semua terasa tingkas, padat dan sangat jelas.
Jason Bourne
Sang sutradara dan pengarah cerita sangat sukses merelevansikan kisah Jason Bourne ke tren dunia saat ini. Konflik antara CIA dengan masyarakat umum seperti hak privasi platfrom media sosial juga disangkut pautkan ke film ini. Ini yang membuat alur cerita terasa lebih fresh dan lebih masuk diakal. Sepertinya sutradara Paul GreenGrass dan Matt Damon, sudah memiliki chemistry yang kuat untuk menghasilkan film ‘Bourne’ yang benar-benar menggigit.
Untuk set lokasi, perlu diacungi jempol bagaimana tim produksi berhasil melakukan setting tempat dengan lokasi berbagai loksai. Mulai dari Yunani, Berlin hingga Las Vegas. Kekacauan yang diperlihatkan tampak begitu natural, dan di tengah kekacauan tersebut, Bourne justru asik berkejaran para musuh yang mengincarnya.
Adegan action yang dihadirkan tak cuma baku tembak, tapi juga kejar mengejar dengan beragam taktik, hingga adu fisik dengan koreo yang cukup rapih terlihat. Menariknya pula tak ada adegan-adegan vulgar seperti yang banyak ditampilkan pada film modern saat ini. Jason Bourne benar-benar hanya penuh dengan drama dan laga.
Hingga film ini berakhir pun masih menyisakan kemungkinan sekuel lanjutan. Dimana rancangan program baru CIA pun juga sudah dibocorkan, yaitu mengenai ‘Iron Hand’. Ada kemungkinan pula jika nantinya installmen film Bourne dengan sang aktor Matt Damon, akan bertemu dengan karakter mantan agen CIA lain seperti Aaron Cross (Jeremy Renner) yang juga masih menyisakan banyak pertanyaan. Adegan pada bagian ending film tidak tampak seperti film ini berakhir, malah justru seperti sedang mengindikasikan petualangan Jason Bourne yang baru.
Tentunya film Jason Bourne adalah salah satu film wajib untuk anda saksikan, terutama untuk para penggemar film action. Jason Bourne tayang mulai 21 Juli 2016 di bioskop-bioskop tanah air. Trailer JASON BOURNE (2016)
Tiga orang pencuri masuk ke rumah orang buta, mungkin tema yang cukup menarik disimak. Dari trailer yang disajikan,ide cerita dari film ini memang cukup menarik disimak. Berbeda dengan kebanyakan film thriller bertema perampokan lainnya, Dont Breathe justru menghadirkan rasa mencekam dimana perampok yang diterror oleh sang pemilik rumah. Bukan pemilik rumah biasa, melainkan orang buta dengan kemampuan bertarung yang tinggi.
Pengenalan karakter yang dalam film terbilang sangat singkat. Tiga orang anggota kompoltan pencuri yang diantaranya adalah Money(Daniel Zovato), Rocky (Jean Levy) dan Alex (Dylan Minnette) sebenarnya bukanlah kelompok pencuri kelas atas, karena dari cara mereka beroperasi di rumah-rumah target terbilang masih amatir. Sedikit pengenalan karakter yang lebih detail ada pada Rocky, seorang gadis yang tinggal bersama ibu dan adiknya. Namun hubungan keluarganya tidak harmonis, karena sang ayah pergi meninggalkan mereka. Sementara Alex adalah anak dari seorang teknisi sistem keamanan rumah, yang justru memanfaatkan posisi tersebut untuk membobol rumah-rumah para client sang ayah.
Kemudian tujuan dari kelompok ini juga cukup jelas. Mereka mengincar uang ratusan ribu dollar dari si buta pemilik rumah, yang merupakan pencairan dana asuransi setelah puterinya meninggal akibat kecelakaan. Tapi setelah mereka berada di dalam rumah, rupanya ada hal yang terduga yang mereka temui. Hal rahasia yang lebih penting dari sekedar uang, mengungkap siapa jati diri dari si buta tersebut. Alur cerita yang sama sekali diluar prediksi ini semakin menambah ketegangan saat menyaksikan film tersebut. Yang akhirnya juga mengubah perspektif penonton, siapakah ‘penjahat’ yang sesungguhnya. Apakah komplotan maling atau si tuan rumah ?
Stephen Lang stars in Screen Gems' horror-thriller DON'T BREATHE.
Action yang ditawarkan juga cukup seru, meskipun tidak menghadirkan koreo martial arts yang memukau. Pistol di tangan si buta menjadi ancaman serius bagi para pencuri yang telah terjebak. Karena tak hanya sekedar bertarung, mereka harus mengatur strategi agar selamat dari ancaman di rumah tersebut. Uniknya film ini tidak perlu mengandalakan beragam efek CGI atau background sound yang mengagetkan.
Pertarungan di ruang gelap, dengan ancaman pistol yang bisa menembus tubuh kapan saja benar-benar membuat penonton terush menghela nafas panjang. Ekspresi yang dihadirkan para pemain sangat meyakinkan dengan kesan penuh ketakutan. Terutama untuk pemeran wanita, Jean Levy yang menjadi tokoh paling dominan. Ekspresi ketakutannya seolah dapat dirasakan oleh penonton yang duduk di depan layar lebar.
Setting lokasi untuk film yang satu ini memang hanya berkutat di dalam rumah. Tapi nyatanya berhasil membuat penonton tegang dan ketakutan sepanjang film. Dengan set up tempat yang kecil, tentunya tidak membutuhkan budget besar untuk penggarapan film. Namun ‘Dont Breate’ tetap berhasil menawarkan suguhan yang maksimal. Bahkan di minggu perdananya, Dont Breathe telah sukses merebut posisi puncak Box Office. Untuk film thriler di tahun 2016, ini menjadi rekomendasi film thriler kedua saya secara pribadi setelah film The Shallows.
Film Hollywood "Race" 2016 menceritakan tentang sebuah keberanian, kelapangan hati dan juga kuatnya persahabatan sejati. Race 2016 juga merupakan sebuah drama yang menginspirasi tentang bagaimana perjuangan seorang pria untuk menjadi legenda lari di olimpiade.
Film Race 2016 ceritanya akan berfokus pada kisah nyata seorang bintang atletik legendaris, bernama Jesse Owens (Stephan James).Dia merupakan seorang bintang lapangan yang berusaha mengatasi dan menghadapi kemalangan sampai akhirnya dapat memenangkan empat medali emas dalam Berlin Olympic Games tahun 1936. Dan dalam olimpiade tersebut,dia harus menghadapi visi Adolf Hitler mengenai supremasi Aryan. Review Film Sinopsis Race (2016)
Film Race 2016 ini merupkan sebuah film yang di adaptasi dari sebuah kisah nyata seorang atlet bernama Jesse Owens, yang memenangkan Rekor empat medali emas di Olimpiade Berlin tahun 1936. Dan inti dari film ini nanti akan berputar pada perjalanan karir di dunia olahraga seorang Jesse Owens hingga dia berhasil memperoleh empat medali emas dalam kejuaraaan atletik.
Alkisah Kapten James T. Kirk (Chris Pine) dan krunya di USS Enterprise yaitu Spock (Zachary Quinto), Uhura (Zoe Saldana), Scotty (Pegg), Sulu (John Cho), Bones (Karl Urban) dan Chekov (Alm Anton Yelchin) sedang melakukan misi 5 tahunan untuk mencari kehidupan yang belum pernah ditemukan.
Saat beristirahat di USS Yorktown mereka dimintai bantuan untuk menuju sebuah kapal yang terdampar. Namun dalam perjalanan, Enterprise diserang secara mendadak dan jatuh disebuah planet. Awak Enterprise saling terpisah, dan mereka berusaha untuk bergabung kembali.
Serangan tersebut ternyata dibuat oleh Krall (Idris Elba), makluk alien yang hidup dengan menghisap kehidupan makhluk lain. Dengan bantuan Manas (Joe Taslim), Krall ingin mendapatkan artefak yang dimiliki oleh Kapten Kirk.
Star Trek Beyond banyak dibumbui humor, terutama antara Spock yang berpikir logis dengan si dokter Bones yang humoris. Ada karakter baru yang ditampilkan yaitu Jaylah (Sofia Boutella), seorang alien yang pintar mengutak-atik pesawat. Tempo film berjalan cepat sehingga tidak membuat bosan, serta penuh ketegangan dari awal hingga akhir.
Isu mengenai LGBT juga mewarnai Star Trek Beyond. Sulu (John Cho) dikisahkan mempunyai suami dan anak. Namun penggambarannya tidak terlalu vulgar seperti di Independence Day: Resurgence.
manas star trek joe taslim, Film yang disutradarai oleh Justin Lin ini juga mengusung artis dari Indonesia yaitu Joe Taslim. Dia menjadi seorang alien bernama Manas yang merupakan anak buah dari Krall. Joe Taslim memakai make up khusus dari bahan prostetik, dimana proses make upnya bisa menghabiskan waktu 5 jam. Apakah Manas hanya tampil sekelebat saja ? Karakter Manas tampil lumayan lama meski tidak menjadi aktor utama. Cuma sayang wajahnya tidak kelihatan karena memakai make up alien ??
Star Trek Beyond, film yang cukup menarik dan bagus. Selama dua jam akan disuguhi dengan action yang mendebarkan, humor yang menyenangkan, akting yang pas serta kejutan dalam jalan cerita.
Veil, adalah sebuah film horor thriller bersama Universal
Pictures. Digarap sutradara Phil Joanou dan Robert Ben Garant sebagai
penulis skenario. Film ini dibintangi oleh pemain film populer Jessica
Alba bersama Lily Rabe, Thomas Jane, Shannon Woodward, Reid Scott,
Aleksa Palladino, Ivy George, Jack De Sena, Kyla-Drew dan lainnya.
Sinopsis The Veil
Dalam sebuah peradaban terdiri dari sekelompok kultus agama yang dikenal
sebagai kerudung surga. Mereka telah mengalami pembantaian setelah
diburu oleh mereka yang kejam, dan peristiwa tragis itu telah
menghilangkan banyak nyawa
Mereka tewas, sementara apa yang
sebenarnya terjadi saat itu telah terkubur bersama memori mereka, namun
ada salah satu yang selamat, ya, seorang anak perempuan berusia lima
tahun telah luput dari aksi pembunuhan sadis itu.
Dia telah
tumbuh besar hingga tiga puluh tahun kemudian, gadis itu kembali ke
dunianya dan bekerja sebagai kru sebuah perusahaan film dokumenter.
Tidak lama setelah kehadirannya, mereka akan sangat terkejut dengan apa
yang mereka temukan, jauh lebih mengerikan dari apapu yang pernah mereka
bayangkan.
Meski baru dua film yang
‘ditelurkannya’, kita sama-sama tahulah kapasitas Ducan Jones sebagai
seorang sutradara berpotensi besar khususnya di genre fiksi ilmiah,
coba lihat saja bagaimana ia sukses membuat kisah seorang astronot yang
kesepian di bulan begitu intens di Moon atau yang dilakukannya ketika ia bermain-main dengan konsep perjalanan waktu di Source Code
yang super keren itu, tetapi kali ini putra dari mendiang rocker David
Bowie harus berhadapan dengan tantangan yang lebih besar, lebih sulit
dan penuh risiko, yakni membawa dunia video game ke layar lebar
yang sudah menjadi rahasia umum adalah sebuah perjudian besar yang
susah untuk dimenangkan, sebuah kutukan mengerikan bagi siapa saja yang
coba-coba bersentuhan dengan adaptasi satu ini.
Tetapi ini Duncan Jones, memang sampai
seberapa buruk sih film yang bisa dibuatnya? Apalagi kali ini sumber
aslinya juga bukan main-main; Adaptasinya dari game strategi komputer ternama macam Warcraft yang sempat mengganggu jadwal tidur para gamers ketika pertama kali di luncurkan 22 tahun silam. Ya, sebagai sebuah RTS (Real Time Strategy) kemunculan seri pertama Warcraft, Warcraft: Orcs & Human
pada tahun 1994 memang menjadi fenomena tersendiri di kalangan gamers
PC. Blizzard Entertaiment sebagai pembuatnya langsung sukses besar yang
kemudian dilanjutkan dengan kemunculan judul-judul lain yang tak kalah
hebatnya, sebut saja sekuel-sekuel Warcraft, sampai tiga seri termasuk
MMORPG World of Warcraft terus berkembang sampai saat ini, franchise Starcfrat yang menjadi mainan wajib anak-anak Korea Selatan sampai franchise RPG Diablo. Ya,
jadi setelah kesuksesan yang diraih Bliizard khususnya seri-seri
Warcraft-nya, hanya tinggal menunggu waktu saja untuk kemudian dibuatkan
versi live-action nya yang akhirnya benar-benar bisa terwujud setelah
pertama kali dicetuskan 2006 silam. Ya, sekali lagi dengan restu penuh
Blizzard Entertaiment, sutradara sekelas Duncan Jones dan dukungan kocek
besar sampai 169 juta dolar dari studio besar macam Legendary dan
Universal Pictures apa sih yang bisa salah dari Warcraft: The Beginning?
Untuk menjawab pertanyaan di atas mungkin harus dilihat dari dua sisi, sisi pertama dari kalangan non-gamers yang sebelumnya tidak pernah bersentuhan dengan sumber aslinya. Ya, mungkin Warcraft: The Beginning akan terasa terlalu familiar di ranah film, khususnya setelah saga TheLord of The Rings
begitu perkasa menghadirkan kisah perseteruan fantasi antara manusia
dan bangsa Orc. Apa yang disajikan Duncan Jones mungkin tidak istimewa
secara premis, penonton awam hanya menganggap ini hanya sekedar sajian
fantasi konvensional yang mengekor kebesaran franchise milik Peter
Jackson itu meski mungkin mereka akan terhibur dengan aksi dan kekuatan
visual efeknya yang betul-betul dimaksimalkan hingga menghasilkan
gambar-gambar yang begitu cantik dengan segala tetek bengek efek CGI-nya
yang keren, tetapi sekali lagi, dari mata awam, Warcfrat: The Beginning hanya menjadi sekedar film hiburan tanpa kesan apa-apa.
Sementara semua akan terasas berbeda jika kamu melihatnya dari sudut lain, sudut seorang gamers yang begitu mencintai franchise video game
satu ini. Warcraft sudah menjadi bagian dari hidup mereka, setiap jam
yang pernah mereka habiskan di depan layar monitor, membangun barrack, farm, dan tower, melepas hero, mage dan Griffin dan menyerbu markas orc atau human dengan segala hafalan shortcut-shortcut
keyboard dan kecepatan menggerakan mouse adalah pengalaman yang tak
terlupakan, jadi tentu saja tidak berlebihan jika kemunculan Warcraft: The Beginning
menjadi sesuatu yang sangat personal dan begitu dinantikan buat mereka.
Ya, buat isa jadi menjadi pengalaman menonton adaptasi video game
terbaik setelah…..entahlah, Tomb Raider atau Final Fantasy VII: Advent Children mungkin?
Hal terbaik yang bisa kamu dapatkan di Warcraft: The Beginning
adalah bagaimana usaha Jones membuatnya sedekat mungkin dengan versi
aslinya, lihat saja desain artistiknya yang luar biasa, meliputi set
kerajaan Azeroth yang cantik sekaligus mistis, Draenor yang tandus dan
mati serta detail-detail karakternya dari Anduin Lothar (Travis Fimmel),
Durotan (Toby Kebbell) sampai Gul’dan (Daniel Wu) si orc warlcok, belum lagi saya menyebutsegala pemilihan kostum dan atributnya yang sangat familiar dengan franchise Warcraft. Singkatnya, secara fisik dan atmosfer, Warcfrat: The Beginning adalah sajian live action fantasi yang Warcfraft
banget lengkap dengan parade CGI yang mampu merepresentasikan setiap
sihir dan aksi-aksi memukau serta perang berskala masif lengkap bersama
iring-iringan scoring menggelegar garapan Ramin , meski harus
diakui juga naskah yang dibesut Jones bersama Charles Leavitt tidaklah
sekuat presentasinya, tetapi hal ini bisa dimaklumi mengingat sumber
aslinya juga sebenarnya tidak punya cerita yang jelas, garis besarnya
hanya menampilkan perseteruan manusia dan para orc horde, tidak lebih
tidak kurang namun dalam perjalanannya akan ada ras-rasa baru yang turut
bergabung meramaikan seperti bangsa Night Elf atau Undead. Menariknya lagi, untuk membuat kisahnya sedikit lebih kompleks, Jones memberinya karakter baru yang tidak ada dalam versi game-nya dalam
diri Garona yang dimainkan Paula Patton yang tetap seksi meski dalam
balutan tubuh hijau dan taring menonjol. Sayang, tidak banyak yang bisa
dieksplorasi Jones di sini, mungkin karena ia hanya bagian awal dari
sebuah saga baru sehingga wajar jika kisahnya terasa lemah dan tidak
lengkap. Mungkin jika sukses nanti, kita bisa melihat lebih banyak lagi
di sekuelnya, ya, jika sukses, semoga.
Film BLOOD FATHER merupakan film bergenre action thriller yang naskahnya
ditulis oleh Andrea Berloff dan Peter Craig berdasarkan novelnya dengan judul
yang sama. Diperankan oleh aktor kawakan Mel Gibson, BLOD FATHER
disutradarai Jean-François Richet, digarap oleh rumah produksi Why Not
Productions.
Dalam film ini Mel Gibson berperan sebagai John Link, mantan
narapidana yang juga seorang ayah, reuni dengan putri tercintanya berusia 16
tahun. Film ini rencananya akan dirilis pada 26 Agustus 2016.
Sinopsis
Film BLOOD FATHER berkisah tentang seorang pria bernama John Link (Mel
Gibson) yang baru saja dibebaskan dari penjara. Setelah sekian lama berpisah,
John Link akhirnya bisa bertemu kembali dengan putri tercintanya Lydia (Erin
Moriarty) berusia 16 tahun.
Namun kebahagiaan John tak bisa berlangsung lama, dikarenakan Bandar narkoba
sedang memburu John. Dengan alasan yang tidak jelas, Bandar narkoba tersebut
berniat membunuh putri John. Sebagai seorang ayah, tentu saja John tak bisa
berdiam diri. Ia harus melindungi putrinya.
Maka mulailah usaha John untuk melindungi putri kesayangannya dari ancaman
pembunuhan tersebut.
Genre Film : Action Thriler – Penulis Naskah : Andrea Berloff – Sutradara
:,Jean-François Richet – Produser : Chris Briggs, Pascal Caucheteux, Sebastien
Lemercier, Peter Craig – Produksi : Why Not Productions – Dirilis : 26 Agustus
2016.
Pemain :
Mel Gibson sebagai John Link
Erin Moriarty sebagai Lydia
William H. Macy sebagai Kirby Curtis
Elisabeth Röhm sebagai Ursula
Diego Luna sebagai Jonah
Thomas Mann sebagai Jayson
Dale Dickey sebagai Cherise
Michael Parks sebagai Preacher
Daniel Moncada sebagai Choop
Raoul Trujillo sebagai a cleaner
Richard Cabral sebagai Joker
show psJauh sebelum filmnya sendiri tayang, Gods of Egypt
sebenarnya sudah dengan sangat gamblang dalam setiap trailernya
menunjukkan bahwa dirinya bukanlah jenis film yang pantas kamu anggap
serius, apalagi bahan untuk mendalami mitologi Mesir kuno. Tidak ada
ceritanya dalam lembaran buku sejarah mana pun dewa-dewa Mesir hidup
berdampingan dengan manusia, memiliki darah emas dengan fisik lebih
besar dan mampu bertransformasi menjadi binatang besi layaknya
robot-robot Transformers. Ya, secara kualitas di atas kertas Gods of Egypt
itu buruk, ia punya naskah buruk, akting buruk, eksekusi buruk dan
spesial efek buruk. Tetapi terkadang jika kamu
sudah menurunkan harapanmu sampai titik yang terendah jauh-jauh hari, Gods of Egypt bisa menyenangkan untuk ditonton untuk sekedar melepas penat, ya, paling tidak, ia lebih enjoyable ketimbang koleganya sesama film aksi petualangan fantasi mitologi macam Clash of The Titans dan sekuelnya, Wrath of the Titans,
Semua dewa-dewi Mesir yang ditampilkan
di sini memang ada dalam buku-buku sejarah yang pernah kamu baca, dari
Dewa matahari; Ra, Osiris, Horus, Set, Thoth sampai Anubis penguasa alam
baka, tetapi dunia Gods of Egypt garapan Alex Proyas (The Crow, Dark City, I, Robot, Knowing) ini
bisa dibilang sedikit berbeda ketika menggunakan set dunia alternatif
Mesir kuno yang diberi sentuhan modern. Dikisahkan Horus (Nikolaj Coster-Waldau),
si penguasa udara tengah bersiap untuk dilantik menjadi raja Mesir baru
menggantikan ayahnya, Osiris (Bryan Brown) namun siapa sangka di tengah
kemeriahan pesta besar peralihan kekuasaan itu, Set (Gerard Butler)
adik Osiris datang dengan agendanya sendiri; menghadirkan kekacauan luar
biasa guna merebut singgasana sang calon raja baru. Hasilnya, Osiris
terbunuh, sementara Horus kalah dalam sebuah pertarungan, tidak hanya
kehilangan posisinya sebagai raja, ia juga harus merelakan kedua matanya
di ambil paksa Set dan menerima hukuman diasingkan. Dari sini, siapa
sangka nasib Mesir dan para dewa ternyata bergantung pada sosok manusia
bernama Bek (Brenton Thwaits).
Jujur, premis yang ditawarkan Gods of Egypt memang jauh dari mitologinya, namun susah untuk menyangkal bahwa modifikasi elemen Shakespearean klasik dengan
segala perebutan kekuasaan antar anggota keluarga kerajaan para
dewa-dewi yang tersaji dalam ranah fantasi ini menarik. Sayang konsep
hanya sebatas konsep, karena di lapangan duo penulisnya, Matt Sazama dan
Burk Sharpless gagal menghadirkan sebuah kedalaman cerita yang cukup
untuk membuat penontonnya bisa terikat dan peduli dengan nasib para
karakternya. Ya, mengecewakan memang melihat sebuah potensi menarik
terbuang percuma begitu saja dengan segala presentasi yang serba kacau,
bahkan spesial efek vaganza yang menjadi daya tarik utamanya selain dua
aktor utamanya yang terlihat cakep menggunakan pedang dan sandal juga
jauh dari luar biasa. Bayangkan, dengan bujet yang menyentuh 140 juta
Dolar, kualitas CGI Gods of Egypt hanya sedikit lebih baik dari sinetron laga naga Indosiar, bahkan CGI dari video game next gen saja masih jauh lebih keren. Oke, mungkin saja kamu bisa mengesampingkan kualitas cerita mediokernya, toh, kita tahu bahwa Gods of Egypt
diciptakan bukan buat bersaing mendapatkan penghargaan Oscar buat
naskah terbaik 2017 nanti, masalahnya, adegan aksi yang diharapkan
ternyata juga tidak terlalu perkasa. Kamu bisa memasukkan Gods of Egypt
dalam kategori film tanpa otak yang berisik, di satu sisi melihat
segala kehebohan dan kekacauan yang dihasilkan bisa menjadi sebuah
tontonan menghibur berskala besar namun di sisi lain ia tidak jarang
terlihat murahan dan konyol, tak jarang kita menertawakan segala
kebodohan narasi dan karakternya, belum lagi beberapa visual
efeknya yang kasar, seperti proses transformasi yang buruk dan
pertarungan yang jauh dari kata mengesankan, ya, beruntung ia masih
punya cukup stok pemanis yang efektif dari misalnya Courtney Eaton
sebagai Zaha yang cantik atau Chadwick Boseman yang mampu menghadirkan
eksotisnya dewi Thoth, ya, setidaknya buat kaum adam yang menonton.
Osiris (Bryan Brown)
yang juga sebagai dewa kebangkitan sedang mengumumkan penganugerahan
tahta Mesir pada anaknya Horus (Nikolaj Coster-Waldau) dewa keadilan,
tiba-tiba datang Seth (Gerard Butler) yang saat itu masih dewa gurun
yang kembali dari pengasingannya di gurun, bersama ribun pasukan untuk
mengkudeta tahta osiris sebelum diberikan pada horus, saat itulah seth
membunuh osiris dan kemudian bertarung dengan horus, pertarungan sengit
diantara keduanya tak terhindarkan, seth yang telah teruji
ketangguhannya karena sekian lama diasingkan mampu mengalahkan horus
yang memang selama ini terlalu berfoya-foya dalam buaian kehidupan
glamor kerajaan mesir. Pertarungan yang disaksikan semua dewa yang hadir
diantaranya Isis (Rachael Blake) dewi ibu dan thoth (Chadwick Boseman)
dewa kebijaksanaan.
Dalam pertarungan itu seth mencongkel kedua mata horus dan ketika hendak
membunuhnya, dihalangi oleh sang ratu hathor yang merupakan dewi cinta,
karena hathor lah horus tidak dibunuh melainkan diasingkan disebuah
kuil.
Ditempat lain Bek (Brenton Thwaites), seorang pemuda yang cekatan,
seorang pencuri ulung nan lincah mencintai seorang gadis bernama zaya
(Courtney Eaton), karena perubahan pada pemerintahan mesir, mereka tak
lagi bisa bebas memadu kasih, bek dijadikan budak dalam pembangunan
bangunan-bangunan megah mesir, sementara zaya dijadikan pelayan seorang
arsitek nomor satu mesir urshu (Rufus Sewell). Ketidakadilan
pemerintahan seth berlangsung sekian lama, namun keyakinan zaya terhadap
horus tidak berubah, ia tetap yakin bahwa suatu saat mesir akan
diselamatkan oleh horus. Dari keyakinan zaya yang sedemikian teguh, bek
mulai mempunyai keinginan untuk berbuat sesuatu, yaitu mencuri mata
horus yang disimpan seth, ide gila itu didukung oleh kekasihnya zaya
yang akhirnya mencuri denah bangunan yang penuh jebakan dari arsip
urshu, dari denah itu bek mempelajari setiap jebakan dan bagaimana
memasuki bangunan tempat mata horus disimpan.
Berangkatlah bek menuju kuil mata horus, dengan mudahnya bek mengambil
mata horus yang ternyata hanya satu itu dan dibawanya ke tempat zaya,
namun tak disangka, urshu mengetahui rencana mereka berdua (bek dan
zaya), dan memaksa untuk memberikan apa yang dicuri bek, dengan sigap
bek mengeluarkan mata horus dan cahaya sangat terang dan menyilaukan itu
mampu membuat urshu dan para penjaga silau, saat itulah bek membawa
kabur zaya, namun sayang, ditengah jalan zaya terkena panah dan sekarat,
dengan begitu khawatir bek membawa zaya ke tempat horus diasingkan,
namun sampai di kuil nyawa zaya tak tertolong, dikuil terpencil itu bek
menemui horus dan menawarkan mata namun dengan syarat horus harus
menghidupkan zaya kembali, awalnya horus bersikeras untuk mengambil
matanya, namun kelincahan bek menyulitkannya, ditambah lagi ia masih
dalam keadaan buta, akhirnya horus mengiyakan permintaan bek meski ia
tahu bahwa anubis yang merupakan dewa kematian tak kan bisa
mengembalikan ruh yang terlanjur meniti jalan akhirat. Horus mengatakan
ia harus membunuh seth terlebih dahulu, dan meletakkan zaya dalam sebuah
sarkofagus didalam kuil.
Bek dan horus mengadakan perjalanan menuju kerajaan seth, ditengah jalan
mereka bertemu hathor, yang sedang melarikan diri dari kemarahan seth
yang marah karena mengetahui hathor masih mencintai horus meskipun
statusnya kini adalah sang ratu pendamping seth, hathor melarikan diri
menggunakan gelangnya, gelang hathor adalah gelang yang selama ini
menjaganya tetap pada cahaya dan dunia, bila dilepas ia akan ditarik
kembali pada kegelapan, dunia bawah, dunia para iblis. Horus terlibat
pembicaraan dengan hathor perihal zaya, satu-satunya cara agar zaya
dapat ditebus adalah dengan memberikan gelang hathor pada pengadilan
akhirat. Hathor bersikeras karena melihat cinta bek yang begitu besar
pada zaya, meskipun hal itu mendapat tentangan dari horus.
Sementara itu, seth terus membangun menara-menara pencakar langit, ia
semakin sombong, membunuh para dewa untuk diambil kekuatannya,
diantaranya adalah otak keijaksanaan thoth, sayap dewa lain dan terakhir
berangkat ke singgasana Ra dewa matahari, ia kemudian berhasil membunuh
ra dan merebut tongkatnya, dengan matinya ra, seluruh alam semesta
goyah tak terkecuali alam baka dimana zaya akan diadili dengan tebusan
gelang hathor, anubis dengan segala kekuatannya mencoba untuk membendung
kehancuran alam baka. Horus dan bek yang berhasil menyelinap kemudian
bertarung dengan seth, pertarungan sengit diantara ketiganya sampai pada
bek mampu mencongkel mata horus yang ada di mata seth, dan
memberikannya pada horus, dan akhirnya horus mampu mengalahkan seth,
semua rakyat mesir menyambut gembira, horus pun mengembalikan otak thoth
dan tongkat ra, semua dewa kembali hidup, bek dan zaya pun diminta
tinggal dikerajaan.source : http://sinopsisfilm.reviews/gods-of-egypt
Dari film bisu sampai animasi Disney, dari serial televisi bahkan sampai film porno, menurut IMDB (Internet Movie Database)
terhitung ada 200 judul film tentang Tarzan dalam rentang tahun 1918
sampai 2014, jumlah yang luar biasa masif mengingat karakter manusia
hutan rekaan penulis Inggris, Edgar Rice Burroughs itu memang menjadi
sangat populer sejak pertama kali diperkenalkan pertama kali dalam
sebuah majalah pada 1912. Jadi tidak usah terlalu terkejut jika kamu
akan selalu menemukan versi terbaru Tarzan di tahun-tahun mendatang,
termasuk yang paling anyar adalah The Legend of Tarzan garapan David Yates ini.
The Legend of Tarzan sebenarnya
dibuka dengan cukup menjanjikan. Cerita garapan Adam Cozad dan Craig
Brewer ini bisa dikatakan sedikit berbeda dari yang kamu kenal. ia lebih
tampak seperti sebuah sekuel dari cerita origin Tarzan di mana
narasi utamanya langsung melompat ke beberapa tahun setelah Tarzan
kembali menjadi manusia sejati dengan nama John Clayton III dan tentu
saja sudah sang jagoan rimba sudah beristrikan Jane Porter (Margot
Robbie). Tetapi kehidupan tentang mereka di London yang hampir satu
dekade itu kemudian terusik oleh situasi politik di Kongo yang
memaksa John harus kembali ke hutan untuk sekali lagi menjadi Tarzan.
Sedikit mengejutkan ketika The Legend of Tarzan tidak
memulai segalanya dari awal seperti sebagian besar adaptasi lainnya,
namun bukan berarti Yates melupakan masa lalu Tarzan. Melalui
fragmen-fragmen masa lalu plotnya bergerak maju mundur, menampilkan
momen bagaimana Tarzan kecil di rawat oleh para gorila, pertemuannya
dengan Jane Porter sampai kemudian bersentuhan dengan konflik utama.
Yates turut memberi sentuhan sejarah dari perbudakan, pembantaian sampai
perburuan berlian di Kongo termasuk dua karakter yang benar-benar ada
seperti George Washington Williams (Samuel L. Jackson) and Léon Rom
(Christoph Waltz).
Masalahnya, dengan segala tetek bengek latar belakang historis dan fiksi, The Legend of Tarzan
sebenarnya punya modal konsep yang besar yang membuatnya bisa berbeda
dari kebanyakan adaptasi lain namun sayang pada akhirnya tidak dibarengi
dengan kekuatan bercerita yang mumpuni dan eksplorasi karakter yang
dalam, padahal di atas kertas ia punya dukungan cast mentereng,
sebut saja Alexander Skarsgård, Margot Robbie, Samuel L.
Jackson, Christoph Waltz sampai Djimon Hounsou. Tidak ada ikatan kuat
antara Tarzan dan Jane meski harus diakui Skarsgård cukup tampil
menyakinkan membawakan perannya sebagai penguasa rimba dengan segala
permak fisik yg sangar dan trademark khas Tarzan yang selama
ini kita kenal termasuk, bergelayutan di antara pohon-pohon,
berkomunikasi dengan hewan serta teriakan ikoniknya. Sementara Robbie
dan karakter-karakter lain seperti terbuang percuma oleh peran
mereka karena naskah yang tidak pernah mampu membuat mereka berkembang
dari sekedar karakter ‘hore-hore’ semata.
Sementara untuk set-piece
aksinya, Yates bisa dibilang cukup baik melakukan pekerjaannya. Beberapa
momen terasa seru dan mendebarkan meskipun memang juga susah untuk
jauh-jauh dari kesan chessy khas film-film musim panas yang
bombastis. Untuk spesial efeknya bisa dibilang tidak begitu bagus, kamu
bisa melihat kualitas rendering gorila yang terasa ‘kasar’, seperti
menggunakan teknologi kedaluwarsa.